Modernis.co, yogyakarta – Baik Popper cs. maupun Adorno cs. Berada pada suatu situasi yang saling serang dan saling tuduh sebagai positivistik. Adorno cs. Menuduh Popper cs.
Sebagai positivistik (Habermas: “ein positivistisch halbierter Rationalismus”), sedangkan Popper cs, menuduh Adorno cs. Sebagai positivis yang sesungguhnya.
Walaupun demikian pada aras yang sama, dua-duanya menyatakan diri anti positivisme, sehingga Ralp Dahrendorf menyatakan bahwa secara kasat mata kedua belah pihak itu kelihatan berpendirian sama.
Namun kedua-duanya, menolak verifikasi sebagai kriteria kebenaran. Penolakan itu baik oleh rasionalisme kritis maupun teori kritis, bukan hanya menyangkut ilmu-ilmu sosial, melainkan juga ilmu-ilmu alam.
Pada aras ini, Habermas mengenai postulat kebebasan nilai bukan saja merupakan ilusi bagi ilmu-ilmu sosial, melainkan juga ilmu-ilmu pengetahuan alam sama saja tidak bebas nilai. Sebuah postulat yang menarik diungkapkan Habermas “apa yang berlaku bagi ilmu alam lebih berlaku lagi bagi ilmu-ilmu sosial”. Apa penjelasan yang diberikan terhadap postulat itu?
Postulat itu dapat disederhanakan sebagai berikut : ramalan-ramalan ilmiah dapat dialihkan menjadi rekomendasi-rekomendasi teknis; rekomendasi-rekomendasi itu dapat membedakan antara situasi semula yang sudah ada, sarana-sarana alternatif dan tujuan-tujuan hipotetis”.
Penilaian-penilaian masuk ke dalam tujuan, tetapi begitu tujuan telah ditetapkan, maka untuk mencapainya harus dipergunakan sarana-sarana yang netral nilai.
Menurut Habermas, niat seperti itu tidak dapat dilaksanakan, karena untuk melaksanakan rekomendasi-rekomendasi teknis dalam suatu situasi konkrit, tentu rekomendasi itu harus diinterpretasikan terlebih dahulu agar maching dengan situasi itu. Tetapi pada tahap ini, sarana-sarana dan tujuan-tujuan tidak lagi dapat diisolasikan.
Artinya tujuan dapat menjadi sarana bagi tujuan selanjutnya, sarana-sarana dapat menjadi tujuan. Kelihatan bahwa realitas masyarakat tidak dapat ditangkap dalam kerangka peristilahan sarana-tujuan, melainkan harus dimengerti sebagai totalitas unsur-unsur yang saling menengahi.
Paling tidak ada dua hal yang perlu dijadikan pertimbangan, yaitu: pertama, ilmu-ilmu pengetahuan yang dikatakan bebas nilai sebenarnya ditentukan secara normatif oleh suatu kepentingan teknis. Kedua, ruang keputusan-keputusan normatif yang secara keliru dianggap irasional dapat saja dijelaskan secara rasional.
Dengan demikian kesan bahwa ilmu-ilmu pengetahuan itu bebas nilai sangat bersifat ideologis. Asumsi bahwa suatu pengertian yang murni, bebas dari kepentingan padahal kepentingan murni ini tetap ditentukan secara normatif oleh kepentingan-kepentingan teknis.
Pemisahan antara fakta dan keputusan sendiri hanyalah akibat dari reduksi yang tidak sah (yaitu reduksi segala bentuk pengetahuan pada pengetahuan dari jenis teknis dan ilmu pengetahuan alam).
Oleh karena itu, menurut Habermas tidaklah kebetulan bahwa perpisahan keras antara fakta dan keputusan baru diadakan dengan tajam pada awal kapitalisme.
Sebab reduksi di bawah kapitalisme semua nilai pada nilai tukar atau nilai ekonomis mengakibatkan bahwa hubungan-hubungan sosial akhirnya dalam semua bidang kehidupan dibendakan (dianggap benda atau barang dagangan).
Kritik Habermas terhadap postulat kebebasan nilai ilmu pengetahuan bukan sebatas teori ilmu pengetahuan, melainkan Habermas mau membuka kedok suatu ideologi yang kekuasaannya menghalang-halangi emansipasi manusia. (dikutip dari : http://ahyar-fadly.blogspot.com/2012/08/pokok-pokok-pikiran-jurgen-habermas.html).
Apa yang diuraikan Habermas tentang kebebasan nilai berangkat dari krisis ilmu pengetahuan Barat.
Keprihatinan Habermas terhadap krisis ilmu pengetahuan pada awalnya diungkapkan saat pengukuhan guru besar di Universitas Franfurt tahun 1965; teks pidatonya berjudul Knowledge and Human Interests kemudian menjadi sebuah teks filosofis yang sangat termashur.
Apa yang diungkapkan Habermas dalam teks itu menjadi semacam rumusan dari posisinya berhadapan dengan positivisme dan sekaligus menjadi proyek filsafatnya.
Dalam pidatonya Habermas mengemukakan lima tesis yang dianggap sebagai suatu kesadaran baru yang bertentangan dengan paham yang lazim dalam ilmu-ilmu positif. Pertama, pencapaian-pencapaian subjek transendental memiliki dasar dalam sejarah alam spesies manusia.
Pengetahuan adalah hasil perkembangan evolusioner spesies manusia dan pengetahuan yang bisa melampaui data-data konkrit (transendental), kata Habermas tidak berasal dari langit.
Lalu apa bisa dikatakan bahwa rasio manusia adalah semacam organ adaptasi (seperti kuku atau taring pada hewan)?. Pada aras ini, Habermas tidak menapik kemungkinan itu, tetapi dia juga menyadari bahaya dari anggapan itu yakni mereduksi pengetahuan pada proses-proses biologis.
Karenanya kepentingan yang mengarahkan pengetahuan muncul dari alam sekaligus dari keterputusan dengan alam sebab kebudayaan. Kebudayaan adalah hasil kerja manusia, menurut Habermas. Dan lewat kerjanya manusia mewujudkan hasrat-hasrat naluriahnya justru lewat penundaan naluri-naluri itu.
Di satu pihak kebudayaan adalah hasil pembebasan dari paksaan alamiah manusia (antara lain mempertahankan diri), juga dari dalam (naluri) dan dari luar (proses-proses fisik).
Habermas menunjuk pada sistem sosial sebagai pengganti organ pertahanan diri di satu pihak, tetapi juga sebagai hasil perwujudan proses-proses kognitif manusia yang bersifat utopis di lain pihak. Untuk status kepentingan ini, Habermas menggunakan istilah “kuasi-transendental.”
Kedua, pengetahuan berlaku sebagai alat pertahanan diri sekaligus melampaui pertahanan diri semata-mata. Pembahasan proses-proses pengetahuan sebagai sesuatu yang terwujud dalam proses institusional masyarakat dan kebudayaan dimulai sejak Hegel.
Pandangan idealistik menyatakan bahwa pranata-pranata atau organisasi sosial pada hakekatnya adalah rasio atau roh yang mendapat sosok tetapnya.
Habermas mengakui bahwa ia tidak sepenuhnya setuju dengan idealisme (namun bersama mazhab Frankfurt), tentu tidak bisa lepas dari wawasan tradisi ini. Ketiga, kepentingan-kepentingan kognitif manusia sebagai spesies sejak awal terwujud dalam tiga medium organisasi sosial, yaitu: kerja, bahasa dan kekuasaan.
Ketiga medium itu, menurut Habermas memiliki fungsi pertahanan diri atau penjagaan kelangsungan hidup bangsa manusia.
Demi kelangsungan hidupnya manusia harus menggunakan media sistem kerja sosial dan penegasan diri lewat kekerasan. Juga bahasa sehari-hari sebagai sarana komunikasi kehidupan bersama dalam cakrawala tradisi yang melindungi manusia dari ancaman kekacauan sosial yang mungkin akan membinasakan manusia.
Dalam kehidupan sosial itu ada tahapan dimana manusia memperkokoh kesadaran akan ke-aku-an berhadapan dengan norma-norma kelompok demi kelangsungan hidupnya dalam bermasyarakat.
Dan sebagai perekat ketiga medium itu adalah informasi untuk memperluas kontrol teknis, interpretasi yang memungkinkan arah tindakan dalam wawasan tradisi bersama, dan analisis yang membebaskan dari kekuatan-kekuatan yang membeku.
Lalu permasalahan adalah, bagaimana keterkaitan kepentingan dengan pengetahuan? Guna menjawab permasalahan itu_sangat berkaitan dengan tesis Habermas di bawah ini. Keempat, di dalam kekuatan refleksi diri, pengetahuan dan kepentingan menyatu. Konsep refleksi diri dipahami dalam konteks idealisme Jerman (mengacu pada Hegel dan Fichte).
Rasio mengandung dua segi yaitu kesadaran dan kehendak. Hegel menunjukan bahwa rasio manusia memiliki kemampuan untuk menemukan kendala-kendala yang merintangi perkembangan manusia untuk mencapai otonomi dan tanggung jawab atau kedewasaan (Mundigkeit).
Sebuah ilustrasi di berikut ini untuk menjelaskan konsep itu, adalah dialektika tuan dan budak.
Lewat kerja paksanya si budak menjadi sadar diri akan posisinya di hadapan tuannya. Kepentingan kognitif emansipatoris dari rasio untuk mencapai otonomi dan tanggungjawab ini, menurut Habermas sudah melekat dalam bahasa. Karena itu, apa yang diungkapkannya sejalan dengan idealisme Jerman (universalitas rasio merupakan arah refleksi diri bagi Habermas).
Dan memang sangat kentara pidato pengukuhan guru besar Habermas dipengaruhi filsafat sejarah Hegel.
Kelima, kesatuan antara pengetahuan dan kepentingan dapat dibuktikan dalam suatu dialektika yang memiliki jejak-jejak sejarahnya dari dialog yang ditindas dan merekonstruksi apa yang telah ditindas.
Artinya kesatuan pengetahuan dan kepentingan tampak dalam usaha-usaha manusia dalam sejarah untuk mencapai konsensus itu lewat dialog dan pada gilirannya, lewat tafsiran atau refleksi atas dialog yang ditindas.
Kritik-kritik idiologi dari positivisme yang menyingkirkan dogmatisme dengan memisahkan rasio dari keputusan yang mengandung komitmen yang bermuara pada otomatisasi keputusan menurut rasionalitas dominan, yakni rasionalitas teknologis. Masalahnya, apakah pemisahan rasio dan keputusan itu sendiri dalam kenyataan mungkin? Menurut Habermas itu tidak mungkin.
Sebab jika positivisme melakukan kritik dan tentunya kritik itu tidak bisa dilepaskan dari pemihakan tertentu. Hanya lewat pemihakan terhadao rasionalitas tertentu kritik itu mendapat isi rasionalnya. Dan itulah yang terjadi dalam positivisme betapapun dibatasi, rasionalisasi tidak bebas dari nilai apalagi idiologi.
Oleh : Yesa Novianti Putri Ashari (Mahasiswa Fakultas Hukum UMJ)